Siapa Yang Peduli Nasibmu, Dik?
Satu dua bocah kecil
menyenandungkan beberapa bait lagu di antara roda-roda yang bergerak melambat
menyambut nyala merah pada lampu lalu lintas. Tak utuh memang lagu yang
dinyanyikan, suara sang pendendang pun tak sebagus kontestan idola cilik di TV.
Sudah barang tentu mereka tidak diiringi alunan dari orkestra ternama, cukup
suara seadanya dengan gitar mainan, atau sekedar kecrekan dari kaleng bekas
sebagai pengiringnya. Gelandangan, anak jalanan, pengemis cilik, pengamen
kecil, atau apapun kita menyebutnya memang seringkali terlihat memprihatinkan.
Tapi semenjak jumlahnya yang tak lagi bisa dibilang sedikit, keadaan ini justru
sudah dianggap biasa. Ah, kemana para pemimpin yang dulunya menjanjikan
pendidikan yang layak bagi mereka? Bukankah anak-anak kecil bagi negeri
seberang adalah aset yang begitu dijaga? Entah, Pemerintah bisa dibilang lepas
tangan atau tidak. Para petinggi gedung DPR mungkin berkelit telah memberikan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu si miskin, memberikan
beasiswa bagi yang kurang mampu, menggelintirkan banyak dana untuk membangun
sekolah ataupun menaikkan persentase anggaran pendidikan dalam APBN negara.
Jika saja semuanya benar, lantas siapa bocah-bocah kecil itu? Tidak seharusnya
mereka ada dengan kondisi seperti yang sekarang ini, jika ‘kereta’ berjalan
pada relnya.
Miris rasanya melihat
gedung DPR yang begitu megah itu masih meminta renovasi, sementara ratusan
sekolah tidak lagi menyerupai bangunan. Ruang ber-AC, kursi nyaman, dan
berbagai fasilitas mewah lainnya sungguh tak layak disandingkan dengan deretan
kursi dan bangku yang dipakai berdesakan, kemudian bergantian. Sungguh tak
memadai, jika dibandingkan dengan bilik kecil yang panas menyengat ketika siang
hari, dan tergenang air jika hujan menyapa. Sayang, bilik inilah yang masih
kita sebut sekolah. Fenomena anak jalanan mungkin hanya bisa ditemui di kota
besar. Namun bukan berarti nelangsa hanya milik si kecil dari kota. Jauh di
belahan Indonesia lainnya, begitu banyak anak yang bahkan tak mengenal abjad.
Jangankan fungsi algoritma, mengenal angka pun tidak. Bukan, bukan karena
mereka bodoh. Tapi kesempatan tak berpihak pada anak-anak malang ini. Entah
bagaimana alurnya, tangan Pemerintah tak mampu merangkul mereka. Kemana dana
yang –katanya- mengalir deras untuk pendidikan itu? Ah, tak usah. Tak usah
ditanya kawan. Mereka, anak jalanan, tidak membutuhkan jawaban itu. Mereka,
anak-anak terpelosok, terlalu lelah menunggu uluran tangan kita yang tak
kunjung sampai.
Sementara masyarakat
dan pemerintah sibuk saling menyalahkan, lihatlah mereka, anak-anak kecil yang
hanya mengenal siang dalam malam. Sehari yang mereka punya adalah untuk mencari
uang. Lapangan bermain anak-anak tak berdosa ini adalah jalanan dengan
kendaraan super cepat yang siap merenggut nyawa mereka kapanpun. Jika kita
masih ingin menyelematkan negeri ini, mari kita bantu Pemerintah merangkul
mereka. Saya rasa pemberian upah seratus dua ratus perak sebagai imbalan
setelah mereka menyanyi, atau sekedar rasa kasihan, bukanlah jalan keluar yang
baik. Bukannya pelit, tapi dikhawatirkan hal-hal semacam itu bukannya
mengembalikan mereka ke sekolah, tapi justru membuat jumlah anak jalanan
semakin banyak, karena tergiur receh yang mengalir dari masyarakat. Jalan yang
bisa kita tempuh untuk membantu mereka adalah dengan pendirian ataupun
pengoptimuman wisma untuk anak jalanan. Kita dapat menyalurkan dana ke tempat
ini yang nantinya difungsikan untuk membiayai pendidikan mereka. Pendidikan disini
baik berupa pendidikan seperti layaknya di sekolah, juga diimbangi dengan
pelatihan soft skill, leadership, dan lainnya yang berguna untuk anak-anak ini.
Pemerintah, melalui aparatnya hendaknya konsekuen setiap waktu melakukan razia
terhadap anak-anak yang memadati jalanan untuk mengamen, ataupun sekedar
meminta-minta. Bukan untuk diseret ke penjara, melainkan dirumahkan di wisma
yang telah tersedia untuk mereka. Dengan bantuan dari masyarakat disertai
dengan aliran dana pendidikan dari Pemerintah, wisma tersebut sudah seharusnya
memiliki akses dengan sekolah-sekolah yang nantinya akan menjadi tempat
anak-anak ini belajar. Tempat mereka bukan di jalanan, tapi di sekolah seperti
saat kita seumuran mereka. Bocah kecil itu berhak mengenyam pendidikan seperti halnya
kita. Di wisma, mereka harus mendapat pendidikan dan pelayanan yang memadai,
sesuai dengan janji pemerintah yang menjamin pendidikan bagi seluruh warganya.
Mengenai ‘pekerjaan’ yang ditinggalkannya, anak-anak ini tak perlu khawatir.
Mereka masih bisa mencari uang melalui pendidikan keterampilan yang juga
seharusnya diberikan di Wisma. Hasil kerajinan mereka dapat dipasarkan dengan
nilai jual cukup tinggi jika tenaga pengajar mampu mengasah kreatifitas dari
anak-anak ini. Hasilnya tentu tidak sedikit. Selain dapat menjadi uang jajan
untuk mereka ataupun untuk membantu pendapatan orang tuanya, aliran dana ini
tentu juga turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan perekonomian Negara.
Pemerintah bisa, masyarakat bisa, kita semua bisa melakukan penyelamatan
terhadap mereka, anak jalanan. Memang, perlu komitmen dari aparat pemerintah
sendiri untuk merangkul anak-anak ini. Satu hal yang harus dihindari adalah ;
bosan. Jangan pernah bosan mengajak mereka. Mungkin memang bukan hal mudah
secara tiba-tiba kita memasukkan mereka ke wisma. Tentu ada aspek psikologis
bagi anak-anak ini ketika ia digelandang aparat. Pendekatan psikologis bagi
anak-anak dapat difungsikan dalam mengatasi masalah ini, misalnya dengan tidak
menugaskan aparat dengan pakaian dan perawakan menakutkan bagi mereka. Banyak
hal yang bisa kita lakukan, kawan.. Sebagai mahasiswa, mungkin tak banyak dana
yang bisa kita salurkan, tapi bukankah kita punya suatu hal yang sangat mereka
butuhkan? Ilmu. Kita bisa berbagi ilmu dengan adik-adik kita bagaimanapun
caranya. Bisa sebagai pengajar tetap, pengajar tidak tetap, atau apapun yang
penting kita bantu mereka mengenal dunia dan pengetahuan yang sudah kita enyam
hingga kini. Saatnya menunjukkan bahwa kita bukanlah mahasiswa yang hanya bisa
mengkritisi jalannya Pemerintahan dengan turun ke jalan, tapi juga bisa memberi
solusi, atau bahkan menjadi solusi bagi mereka.
Opini :
Salah satu tujuan bangsa Indonesia didalam UUD 19945 telah dijelaskan
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, tetapi menurut saya sekarang pemerintah
masih kurang memperhatikan pendidikan walaupun sudah diadakan program wajib
belajar dan dana BOS tetapi semua itu belum cukup karena masih banyak anak yang
di terlantarkan oleh pemerintah seperti contoh diatas, ,sekarang pemerintah
menghambur-hamburkan uang Negara untuk hal yang kurang bermanfaat. Ditambahkan, saat ini memang belum ada
pendidikan khusus bagi anak-anak jalanan. Sesungguhnya bentuk sekolah atau
pendidikan yang pas untuk anak jalanan tidak harus sekolah formal atau
memberikan fasilitas pendidikan khusus lainnya. Model pendidikan bagi anak
jalanan dapat berupa sanggar atau yayasan social yang menampung anak jalanan agar
mereka memperoleh pendidikan.
Sumber :
1 komentar:
Agen Judi Terpercaya
Agen Judi
agen sbobet
988Bet Trade In
988Bet Produk Asia77
988Bet Produk AsiaPoker77
988Bet Produk Asia8
988Bet Produk 1sCasino
988Bet Produk 338a
988Bet Produk IBCBET
988Bet Produk SBOBET
Prediksi Bola 988Bet
Tebak Bola 988
Panduan Bermain 988
Posting Komentar