Pages

Senin, 05 November 2012

Nasib Anak Jalanan


Siapa Yang Peduli Nasibmu, Dik?

Satu dua bocah kecil menyenandungkan beberapa bait lagu di antara roda-roda yang bergerak melambat menyambut nyala merah pada lampu lalu lintas. Tak utuh memang lagu yang dinyanyikan, suara sang pendendang pun tak sebagus kontestan idola cilik di TV. Sudah barang tentu mereka tidak diiringi alunan dari orkestra ternama, cukup suara seadanya dengan gitar mainan, atau sekedar kecrekan dari kaleng bekas sebagai pengiringnya. Gelandangan, anak jalanan, pengemis cilik, pengamen kecil, atau apapun kita menyebutnya memang seringkali terlihat memprihatinkan. Tapi semenjak jumlahnya yang tak lagi bisa dibilang sedikit, keadaan ini justru sudah dianggap biasa. Ah, kemana para pemimpin yang dulunya menjanjikan pendidikan yang layak bagi mereka? Bukankah anak-anak kecil bagi negeri seberang adalah aset yang begitu dijaga? Entah, Pemerintah bisa dibilang lepas tangan atau tidak. Para petinggi gedung DPR mungkin berkelit telah memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membantu si miskin, memberikan beasiswa bagi yang kurang mampu, menggelintirkan banyak dana untuk membangun sekolah ataupun menaikkan persentase anggaran pendidikan dalam APBN negara. Jika saja semuanya benar, lantas siapa bocah-bocah kecil itu? Tidak seharusnya mereka ada dengan kondisi seperti yang sekarang ini, jika ‘kereta’ berjalan pada relnya.

Miris rasanya melihat gedung DPR yang begitu megah itu masih meminta renovasi, sementara ratusan sekolah tidak lagi menyerupai bangunan. Ruang ber-AC, kursi nyaman, dan berbagai fasilitas mewah lainnya sungguh tak layak disandingkan dengan deretan kursi dan bangku yang dipakai berdesakan, kemudian bergantian. Sungguh tak memadai, jika dibandingkan dengan bilik kecil yang panas menyengat ketika siang hari, dan tergenang air jika hujan menyapa. Sayang, bilik inilah yang masih kita sebut sekolah. Fenomena anak jalanan mungkin hanya bisa ditemui di kota besar. Namun bukan berarti nelangsa hanya milik si kecil dari kota. Jauh di belahan Indonesia lainnya, begitu banyak anak yang bahkan tak mengenal abjad. Jangankan fungsi algoritma, mengenal angka pun tidak. Bukan, bukan karena mereka bodoh. Tapi kesempatan tak berpihak pada anak-anak malang ini. Entah bagaimana alurnya, tangan Pemerintah tak mampu merangkul mereka. Kemana dana yang –katanya- mengalir deras untuk pendidikan itu? Ah, tak usah. Tak usah ditanya kawan. Mereka, anak jalanan, tidak membutuhkan jawaban itu. Mereka, anak-anak terpelosok, terlalu lelah menunggu uluran tangan kita yang tak kunjung sampai.

Sementara masyarakat dan pemerintah sibuk saling menyalahkan, lihatlah mereka, anak-anak kecil yang hanya mengenal siang dalam malam. Sehari yang mereka punya adalah untuk mencari uang. Lapangan bermain anak-anak tak berdosa ini adalah jalanan dengan kendaraan super cepat yang siap merenggut nyawa mereka kapanpun. Jika kita masih ingin menyelematkan negeri ini, mari kita bantu Pemerintah merangkul mereka. Saya rasa pemberian upah seratus dua ratus perak sebagai imbalan setelah mereka menyanyi, atau sekedar rasa kasihan, bukanlah jalan keluar yang baik. Bukannya pelit, tapi dikhawatirkan hal-hal semacam itu bukannya mengembalikan mereka ke sekolah, tapi justru membuat jumlah anak jalanan semakin banyak, karena tergiur receh yang mengalir dari masyarakat. Jalan yang bisa kita tempuh untuk membantu mereka adalah dengan pendirian ataupun pengoptimuman wisma untuk anak jalanan. Kita dapat menyalurkan dana ke tempat ini yang nantinya difungsikan untuk membiayai pendidikan mereka. Pendidikan disini baik berupa pendidikan seperti layaknya di sekolah, juga diimbangi dengan pelatihan soft skill, leadership, dan lainnya yang berguna untuk anak-anak ini. Pemerintah, melalui aparatnya hendaknya konsekuen setiap waktu melakukan razia terhadap anak-anak yang memadati jalanan untuk mengamen, ataupun sekedar meminta-minta. Bukan untuk diseret ke penjara, melainkan dirumahkan di wisma yang telah tersedia untuk mereka. Dengan bantuan dari masyarakat disertai dengan aliran dana pendidikan dari Pemerintah, wisma tersebut sudah seharusnya memiliki akses dengan sekolah-sekolah yang nantinya akan menjadi tempat anak-anak ini belajar. Tempat mereka bukan di jalanan, tapi di sekolah seperti saat kita seumuran mereka. Bocah kecil itu berhak mengenyam pendidikan seperti halnya kita. Di wisma, mereka harus mendapat pendidikan dan pelayanan yang memadai, sesuai dengan janji pemerintah yang menjamin pendidikan bagi seluruh warganya. Mengenai ‘pekerjaan’ yang ditinggalkannya, anak-anak ini tak perlu khawatir. Mereka masih bisa mencari uang melalui pendidikan keterampilan yang juga seharusnya diberikan di Wisma. Hasil kerajinan mereka dapat dipasarkan dengan nilai jual cukup tinggi jika tenaga pengajar mampu mengasah kreatifitas dari anak-anak ini. Hasilnya tentu tidak sedikit. Selain dapat menjadi uang jajan untuk mereka ataupun untuk membantu pendapatan orang tuanya, aliran dana ini tentu juga turut berkontribusi dalam menjaga keseimbangan perekonomian Negara.

Pemerintah bisa, masyarakat bisa, kita semua bisa melakukan penyelamatan terhadap mereka, anak jalanan. Memang, perlu komitmen dari aparat pemerintah sendiri untuk merangkul anak-anak ini. Satu hal yang harus dihindari adalah ; bosan. Jangan pernah bosan mengajak mereka. Mungkin memang bukan hal mudah secara tiba-tiba kita memasukkan mereka ke wisma. Tentu ada aspek psikologis bagi anak-anak ini ketika ia digelandang aparat. Pendekatan psikologis bagi anak-anak dapat difungsikan dalam mengatasi masalah ini, misalnya dengan tidak menugaskan aparat dengan pakaian dan perawakan menakutkan bagi mereka. Banyak hal yang bisa kita lakukan, kawan.. Sebagai mahasiswa, mungkin tak banyak dana yang bisa kita salurkan, tapi bukankah kita punya suatu hal yang sangat mereka butuhkan? Ilmu. Kita bisa berbagi ilmu dengan adik-adik kita bagaimanapun caranya. Bisa sebagai pengajar tetap, pengajar tidak tetap, atau apapun yang penting kita bantu mereka mengenal dunia dan pengetahuan yang sudah kita enyam hingga kini. Saatnya menunjukkan bahwa kita bukanlah mahasiswa yang hanya bisa mengkritisi jalannya Pemerintahan dengan turun ke jalan, tapi juga bisa memberi solusi, atau bahkan menjadi solusi bagi mereka.

Opini :
Salah satu tujuan bangsa Indonesia didalam UUD 19945 telah dijelaskan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, tetapi menurut saya sekarang pemerintah masih kurang memperhatikan pendidikan walaupun sudah diadakan program wajib belajar dan dana BOS tetapi semua itu belum cukup karena masih banyak anak yang di terlantarkan oleh pemerintah seperti contoh diatas, ,sekarang pemerintah menghambur-hamburkan uang Negara untuk hal yang kurang bermanfaat.  Ditambahkan, saat ini memang belum ada pendidikan khusus bagi anak-anak jalanan. Sesungguhnya bentuk sekolah atau pendidikan yang pas untuk anak jalanan tidak harus sekolah formal atau memberikan fasilitas pendidikan khusus lainnya. Model pendidikan bagi anak jalanan dapat berupa sanggar atau yayasan social yang menampung anak jalanan agar mereka memperoleh pendidikan.

Sumber :