Pages

Minggu, 28 Oktober 2012

Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia

 Rupanya fenomena pertambahan pengangguran dan kemiskinan lebih mudah terjadi ketimbang dicegah apalagi diturunkan jumlahnya. Kepekaan atau elastisitasnya terhadap pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Pemerintah memperkirakan pada tahun ini, akibat krisis ekonomi global, jumlah tambahan pengangguran atau pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 200 ribu orang. PHK ini dipengaruhi oleh menurunnya perumbuhan ekonomi dari prakiraan sebesar 5.5% menjadi 4.5% saja. Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini karena pertumbuhan ekspor yang juga menurun. Semula ekspor diproyeksikan tumbuh 5%  namun kini hanya diprakirakan mencapai 2.5%. Akibatnya produktifitas nasional pun menurun. Akibat turunannya apabila prakiraan proyeksi pertumbuhan ekonomi mencapai 5.5% jumlah penduduk miskin akan mencapai 28 juta atau 12,68% dari total penduduk. Namun kalau hanya 4.5% disamping timbulnya pengangguran baru maka juga diikuti dengan meningkatnya penduduk miskin menjadi 30,24 juta jiwa atau 13,34% dari total penduduk.

Setiap kita pasti sepakat, krisis ekonomi global tidak bisa dicegah apalagi dikendalikan hanya oleh satu bangsa saja. Karena itu pasti akan berdampak pada kesehatan ekonomi nasional. Yang hanya bisa dilakukan adalah meminimumkan dampak negatif tersebut. Sekaligus juga bangsa Indonesia khususnya pemerintah harus mulai berpikir ulang tentang makna reformasi ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran jangan ditempatkan sebagai turunan dan sisa dari target pertumbuhan ekonomi. Dan ini dicerminkan dengan pendekatan tambal sulam. Dengan kata lain arusutama (mainstream) para perencana pembangunan harus propopulis ketimbang  berorientasi mutlak pada propasar.

Padahal sejak republik ini berdiri, penanggulangan pengangguran dan kemiskinan bukanlah masalah yang ditempatkan sebagai sisa dari suatu program atau  disepelekan. Jangan mengatasi pengangguran dan kemiskinan itu dipandang sebagai upaya kalau ada masalah baru diatasi. Dan inilah sebagai faktor utama mengapa pengangguran dan kemiskinan sulit dicegah. Hal ini terjadi karena bermula dari mashab pemikiran para perencana pembangunan yang terlalu berorientasi pada propasar semata. Ketika pertumbuhan ekonomi terlalu mengandalkan pada industri-industri atau perusahaan besar saja maka lambat laun usaha ekonomi rakyat akan tergilas. Sebaliknya ketika terjadi krisis global maka runtuhnya produktifitas raksasa-raksasa tersebut akan berakibat pada penderitaan rakyat. Ketika itu barulah pemerintah menengok pentingnya pertumbuhan ekonomi usaha kecil dan menengah.

Sebenarnya pemerintah yang sekarang sudah punya kebijakan triple track strategyyakni progrowth, propoor, dan proemployment. Namun pertanyaannya apakah dalam operasionalnya sudah mencerminkan sesuai dengan kebijakan tersebut. Belum tentu sudah menyeluruh. Masih belum secara terbuka diutarakan bagaimana kebijakan triple track strategy itu diterjemahkan dalam kebijakan makro yang komprehensif antarsektor. Misalnya apa dan bagaimana pembangunan pertanian kaitannya dengan pembangunan sektor industri, perdagangan, ketenagakerjaan, pembangunan daerah, infrasruktur, dsb. Begitu pula bagaimana pembangunan di sektor nonpertanian  kaitannya dengan pembangunan sektor-sektor lainnya. Kemudian instansi mana saja sebagai unsur pendukung utama untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan kebijakan pembangunan itu?. Kalau belum ada yang komprehensif dan holistik maka pendekatan pengentasan kemiskinan dan pengangguran tidak mudah diatasi.  

           Yang jelas masyarakat bakal semakin lelah saja kalau masalah pengangguran dan kemiskinan terabaikan. Secara ekonomi, daya beli mereka akan melemah dalam memenuhi kebutuhan hidup layak minimumnya. Sementara secara psikologis mereka akan menderita mental yang tidak mudah terobati.  Karena itu pemerintah perlu mengoptimumkan sumberdaya yang ada sekaligus mencari sumber-sumber ekonomi lainnya yang potensial. Program-program stimulus ekonomi plus pengembangan infrastruktur ekonomi sebaiknya diarahkan pada sektor padat karya. Termasuk bagaimana sektor usaha kecil dan menengah (sektor-sektor padat karya) seperti  pertanian dan industri haruslah  menjadi prioritas utama pembangunan jangka panjang.

Kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya diatasi dengan semata-mata menunggu trickle down effect atau kepyuran ke bawah dari investor besar Merupakan kejahatan moral menganggap orang miskin hanya berhak atas rembesan. Memburuknya indeks Gini dari 38 persen (2010) menjadi 41persen (2011) adalah peningkatan kesenjangan kaya-miskin yang mencemaskan. Paradigmatik kebijakan menggenjot pertumbuhan bukanlah jaminan terberantasnya kemiskinan dan pengangguran. Diperlukan pemikiran cerdas ekstraordiner-kontemporer, meninggalkan konvensionalisme. Direct attack on poverty—pemberdayaan kilat di pos-pos daya meningkatkan kemampuan produktif, terampil mencipta atau menyambut pekerjaan menjadi pilihan. Pembangunan dengan semangat pasar bebas dan perdagangan bebas yang memiskinkan kehidupan dan melumpuhkan semangat hidup rakyat harus distop. Sesuai paham strukturalisme ekonomi nasional kita harus banting setir beralih ke pemikiran: let us take care of employment, employment will take care of growth, tegas melaksanakan tujuan konstitusi: ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Statistika dan model-model ekonometri yang masih menimang-nimang paradigma-paradigma usang, yang tak sesuai dengan humanisme ekonomi konstitusi kita perlu diakhiri. Kemiskinan adalah masalah bersama, mari bekerja keras, ikut mengentaskan masyarakat miskin ekstrem di Papua, Maluku, NTT, dan NTB. (Sri-Edi Swasono, Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa).

Opini : Menurut saya pemerintah perlu membuka peluang usaha untuk masyarakat di Indonesia agar tidak ada lagi masalah kemiskinan ataupun pengangguran dan bagi pemerintah jangan hanya mengumbar omongan saja tetapi buktikan amanah itu untuk rakyat Indonesia

Sumber : 

0 komentar:

Posting Komentar