Rupanya fenomena pertambahan
pengangguran dan kemiskinan lebih mudah terjadi ketimbang dicegah apalagi
diturunkan jumlahnya. Kepekaan atau elastisitasnya terhadap pertumbuhan ekonomi
relatif tinggi. Pemerintah memperkirakan pada tahun ini, akibat krisis ekonomi
global, jumlah tambahan pengangguran atau pemutusan hubungan kerja (PHK)
mencapai 200 ribu orang. PHK ini dipengaruhi oleh menurunnya perumbuhan ekonomi
dari prakiraan sebesar 5.5% menjadi 4.5% saja. Pelambatan pertumbuhan ekonomi
ini karena pertumbuhan ekspor yang juga menurun. Semula ekspor diproyeksikan
tumbuh 5% namun kini hanya diprakirakan
mencapai 2.5%. Akibatnya produktifitas nasional pun menurun. Akibat turunannya
apabila prakiraan proyeksi pertumbuhan ekonomi mencapai 5.5% jumlah penduduk
miskin akan mencapai 28 juta atau 12,68% dari total penduduk. Namun kalau hanya
4.5% disamping timbulnya pengangguran baru maka juga diikuti dengan
meningkatnya penduduk miskin menjadi 30,24 juta jiwa atau 13,34% dari total
penduduk.
Setiap kita pasti sepakat, krisis ekonomi global tidak
bisa dicegah apalagi dikendalikan hanya oleh satu bangsa saja. Karena itu pasti akan berdampak pada kesehatan ekonomi nasional.
Yang hanya bisa dilakukan adalah meminimumkan dampak negatif tersebut. Sekaligus
juga bangsa Indonesia khususnya pemerintah harus mulai berpikir ulang tentang
makna reformasi ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran jangan
ditempatkan sebagai turunan dan sisa dari target pertumbuhan ekonomi. Dan ini
dicerminkan dengan pendekatan tambal sulam. Dengan kata lain arusutama
(mainstream) para perencana pembangunan harus propopulis ketimbang berorientasi
mutlak pada propasar.
Padahal sejak republik ini berdiri, penanggulangan
pengangguran dan kemiskinan bukanlah masalah yang ditempatkan sebagai sisa dari
suatu program atau disepelekan. Jangan mengatasi pengangguran dan kemiskinan
itu dipandang sebagai upaya kalau ada masalah baru diatasi. Dan inilah sebagai
faktor utama mengapa pengangguran dan kemiskinan sulit dicegah. Hal ini terjadi
karena bermula dari mashab pemikiran para perencana pembangunan yang terlalu
berorientasi pada propasar semata. Ketika pertumbuhan ekonomi terlalu
mengandalkan pada industri-industri atau perusahaan besar saja maka lambat laun
usaha ekonomi rakyat akan tergilas. Sebaliknya ketika terjadi krisis global
maka runtuhnya produktifitas raksasa-raksasa tersebut akan berakibat pada
penderitaan rakyat. Ketika itu barulah pemerintah menengok pentingnya
pertumbuhan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Sebenarnya pemerintah yang sekarang sudah punya kebijakan triple track strategyyakni progrowth, propoor, dan proemployment. Namun pertanyaannya apakah dalam operasionalnya sudah mencerminkan
sesuai dengan kebijakan tersebut. Belum tentu sudah menyeluruh. Masih belum
secara terbuka diutarakan bagaimana kebijakan triple track
strategy itu diterjemahkan dalam kebijakan makro yang komprehensif
antarsektor. Misalnya apa dan bagaimana pembangunan pertanian kaitannya dengan
pembangunan sektor industri, perdagangan, ketenagakerjaan, pembangunan daerah,
infrasruktur, dsb. Begitu pula bagaimana pembangunan di sektor nonpertanian kaitannya dengan pembangunan sektor-sektor lainnya. Kemudian
instansi mana saja sebagai unsur pendukung utama untuk mencapai keberhasilan
pelaksanaan kebijakan pembangunan itu?. Kalau belum ada yang komprehensif dan
holistik maka pendekatan pengentasan kemiskinan dan pengangguran tidak mudah
diatasi.
Yang jelas masyarakat bakal semakin lelah saja kalau
masalah pengangguran dan kemiskinan terabaikan. Secara ekonomi, daya beli
mereka akan melemah dalam memenuhi kebutuhan hidup layak minimumnya. Sementara
secara psikologis mereka akan menderita mental yang tidak mudah terobati. Karena
itu pemerintah perlu mengoptimumkan sumberdaya yang ada sekaligus mencari
sumber-sumber ekonomi lainnya yang potensial. Program-program stimulus ekonomi
plus pengembangan infrastruktur ekonomi sebaiknya diarahkan pada sektor padat
karya. Termasuk bagaimana sektor usaha kecil dan menengah (sektor-sektor padat
karya) seperti pertanian dan industri
haruslah menjadi prioritas utama pembangunan
jangka panjang.
Kemiskinan dan pengangguran tidak seharusnya diatasi dengan semata-mata
menunggu trickle down effect atau kepyuran ke bawah dari investor besar
Merupakan kejahatan moral menganggap orang miskin hanya berhak atas rembesan.
Memburuknya indeks Gini dari 38 persen (2010) menjadi 41persen (2011) adalah
peningkatan kesenjangan kaya-miskin yang mencemaskan. Paradigmatik kebijakan
menggenjot pertumbuhan bukanlah jaminan terberantasnya kemiskinan dan
pengangguran. Diperlukan pemikiran cerdas ekstraordiner-kontemporer, meninggalkan
konvensionalisme. Direct attack on poverty—pemberdayaan kilat di pos-pos daya
meningkatkan kemampuan produktif, terampil mencipta atau menyambut pekerjaan
menjadi pilihan. Pembangunan dengan semangat pasar bebas dan perdagangan bebas
yang memiskinkan kehidupan dan melumpuhkan semangat hidup rakyat harus distop.
Sesuai paham strukturalisme ekonomi nasional kita harus banting setir beralih
ke pemikiran: let us take care of employment, employment will take care of
growth, tegas melaksanakan tujuan konstitusi: ”Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Statistika dan
model-model ekonometri yang masih menimang-nimang paradigma-paradigma usang,
yang tak sesuai dengan humanisme ekonomi konstitusi kita perlu diakhiri.
Kemiskinan adalah masalah bersama, mari bekerja keras, ikut mengentaskan
masyarakat miskin ekstrem di Papua, Maluku, NTT, dan NTB. (Sri-Edi
Swasono, Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa).
Opini : Menurut saya
pemerintah perlu membuka peluang usaha untuk masyarakat di Indonesia agar tidak
ada lagi masalah kemiskinan ataupun pengangguran dan bagi pemerintah jangan
hanya mengumbar omongan saja tetapi buktikan amanah itu untuk rakyat Indonesia
Sumber :